Uncategorized

Tutup Botol si Aa

” Neng?”

“Iya, A. Maaf lagi malas maenan HP. Maaf ya, …”

“Kenapa? Kamu baik-baik saja kan? Jaga kesehatan. Ngga papa istirahatlah!”

“Hm … Ngga tahu bad mood aja sih, A.
Iya makasih.”

“Si adek gimana? Udah membaik?”

“Sudah, A. Berkat ijazah yang Aa berikan kapan hari.”

“Alhamdulillah. Nah, nanti giliran Aa ya.”

“Waduh, apaan?”

“Giliran Aa yang mendawamkan ritual itu, biar si Neng lebih jinak. He,he.”

“Huuu…”

“Ternyata memang besar kuasa Tuhan, lewat semua kalamnya, ya, A. Banyak dari kita yang tidak sadar Al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup. Semua lengkap, tersusun rapi.”

“Nah, iya. Mangkane aja lali di nderes. Ngga harus apal.”

“Iya iya, nanti bonus dari Istiqomah membaca akan ingat diluar kepala. Gitu kan?”

Itu percakapan kami dulu. Saat Aku dan si Aa bebas bertukar cerita. Leluasa berkirim kabar dan menerima kepedulian. Aku juga bebas meminta jampi padanya kapanpun aku mau. Dia selalu mengabari untuk meyakinkanku jarak kita dekat. Meski terbentang luasnya samudra.

Sekarang Aa sudah menikah. Sedangkan aku masih menekuri lembar demi lembar kisah tentang Alina Suhita. Sebab aku perlu mengerti mikul duwur mendem jero.
Tentu saja aku mengingatnya, yang sudah terlanjur pergi. Merangkai masa depan dengan Micha, sebelum ia sempat menjinakkan aku. Menerima rapalan doanya. Ntah itu apa.

Perih tentu saja. Apa lagi setiap kali aku ingat kesabaranya dalam melayani sifatku yang moody. Dia yang selalu ada. Dia yang selalu selalu menyempatkan berkabar dalam hiruk skripsi. Dia yang dulu tak pernah pergi sejengkalpun dari cita-cita bersama.

Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.

Mengenang kebersamaan kami yang begitu manis. Misalnya ketika dia memgajakku ziarah kesalah satu wali di Kota Cirebon.

Tempat keramat yang sempatku langitkan doa hebat. Dengan sosok yang dekat. Di depanku.

Disana, di Makam Sunan Gunung Djati itu, dia bisa seperti kakak yang begitu melindungi. Saat panasnya kota udang membuat kerongkongku mengering. Dia bergegas menuju warung membeli air mineral, menyegarkan. Membiarkan aku minum dan dia sibuk cerita tentang sega Jamblang, nasi yang disajikan dibungkus daun jati. Kuliner legendaris sejak jaman penjajahan Belanda.

“Kamu tahu ngga, Neng?”

“Ngga.”

“Ih emang tau aku mau tanya apa?”

Aku menggeleng.
“Ngga. Emang kenapa, A?”

Dia melempar tutup botol. Lalu tertawa.
“Dasar.”
“Konon, pada tahun 1470 Masehi atas dasar dukungan kesultanan Demak dan Raden pertama Kota Cirebon sekaligus uwa’ (kakak dari orang tua/ ibu) Raden Walangsungsang atau kita kenal dengan panggilan Pangeran Cakrabuana, Syekh Gunung Djati dinobatkan sebagai Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479M. Dengan gelar Maulana Jati.”

“Oo… Yang sampai sekarang nama djati diabadikan sebagia nama Universitas Islam Negeri di kota Bandung, ya.”

“Iya.”

“Eh ada lagi. Nama kampus Aa juga bukti abadi dari nama Syarif Hidayatullah.”

“Nah bener.”

Begitulah si Aa selalu memberiku hal-hal baru.
Disana, di sebrang jalan makan Gunung Djati adalah tempat pesaren Syekh Datul Kahfi, atau terkenal Syekh Nurjati.
Aku jadi tahu kalau Cirebon bukan hanya dijuluki kota udang, pun dijuluki Kota Wali.

Aku langsung merogoh saku gamisku, mengeluarkan smartphone berukuran 6 inci, karena tertarik mengabadikan lewat jepretan.

Kami menutup hari dengan makan bakso di sebuah warung pinggir jalan di jalan Kedawung. Sambil menikmati lalu lalang mobil elp. Sebuah transport umum.

Aku mengingat setiap detik yang kulalui bersama AZayn. Aku menyukai sikap tenangnya. Aku menyukai pengetahuanya. Aku menyukai caranya yang sederhana untuk menjadikan waktu berdua menuai guna.

Aku juga ingat pertemuan langka sore itu. Pertemuan pertama dari sangat jarangnya kita bertemu.
Di perempatan Panjalin. Pertemuan pertama di tukang bakso. Menjadi pertemuan paling berkesan dalam peradaban cerita kita. Dari sini kita berangkat menyemai rencana.

“Yang penting kamu tahu, aku menginginkanmu. Menua, berbahagia bersama.”

“Iya A.”

“Bahkan jarak akan hadir ditengah-tengah kita. ”

“Nggih.”

“Beneran lho.”

Ah, Aa …
Dia memang sempat bertahan, lama.
Kesetianya bisa aku rasakan.

Sayangnya, kebersamaan kami sudah berakhir.
Aku hanya bisa mengenangnya. Dia yang bayanganya hadir di lirik lagu-lagu. Dia yang kini bersemayam dalam puisi pilu para penyair.
Dia yang tiba-tiba muncul di setiap aku melewati jalan ini.
Dia, yang membuat mataku berkaca-kaca setiap aku melewati jalan Kedawung.

Ah, sudahlah. Aku tidak boleh menyalahkanya. Azayn tidak jahat. Ini tentang situasi yang tidak berpihak kepada kami.

Aku meneruskan membaca tentang Alina Suhita. Dalam hening. Dalam diam. Dalam tenang. Sebisa mungkin menghalau bayangan Azayn.
Dia mungkin sudah bahagia sebagaimana doa-doaku. Sebagaimana kelapanganku.

Quotes

Menjemput Ikhlas dengan Sabar

Feviwordp – Aku masih ingat ribuan purnama lalu, di balik layar dia terisak, akupun sama. Namun, Kita tidak saling menenangkan. Aku harus merelakannya pergi, dan dia harus menerima takdirnya. Tanpa saling menyalahkan.

Kita adalah dua amanah, yang saling berdiam dibalik gejolak amarah.
Membuatmu bahagia, aku pernah.
Menjadi bahagia, kau sempat menyerah.
Baiklah, kita cabang arah.
Mungkin ini saatnya kita menengadah pasrah.

Story telling

Lain Orang Lain Cerita

Feviwordp – Di titik 15°C sabtu siang, setelah seambrek tugas rumahan terselesaikan dengan kekuatan super paksa karena besarnya gaya bermalas ria.
Aku membuka applikasi yang bericon huruf ef, berwarna biru. Berselancar di beranda.

Aku hanya scrall scroll mengamati mereka yang lalu lalang.

Pamer? Ada …
Mengeluh? Ada …
Berbagi cerita inspirasi? Tak kalah ada.

Wajar saja dari 2000 lebih list pertemananku bukan hanya satu pemilik. Yang masing-masing kepala memiliki cara berbeda membudidayakan akun miliknya.

Jariku terhenti, mataku mengamati kata perkata yang ia tulis.

Bercerita tentang anak kesayanganya tidak ditemui setelah seisi rumah dicarinya, dengan ijin Tuhan, dengan kekuatan doa, dengan agungnya fadhilah Qs. At-TareeqNya si anak bisa ditemukan.

Juga cerita tentang keimanan pada Tuhan, sesuatu yang tiba-tiba tanpa kepastian disegerakan perantara sholawat nariyah yang beliau amalkan. Dan masih banyak lagi.
Dengan banjirnya kolom komentar dari berbagai empati, kesaksian yang sudah mengamalkanya, membuatku mengangguk mengiyakan bahwa ‘tak ada kesia-siaan dalam berdoa’ itu benar adanya.

Sesekali aku isi komentar bahwa aku sebenarnya merinding mendengar cerita beliau yang dekat dengan TuhanNya.

Tak perlu mempertebal tapi, sing ‘madhep lan yakin maring pengeran‘. (Percaya kepada kebesaran Tuhan)
Berat? Memang. Namun ini bisa dilatih bukan?

Uncategorized

Almamater – 1

Hujan deras mengguyur sejak ba’da zuhur. Ini kemenangan sebab ngaji kitab ashar nanti diliburkan. Air menggenang mengapungkan sendal, botol aqua hanyut serupa perahu getek menuju hilir. Asap gorengan dari warung Mbok Siti menghambur, berganti-ganti dengan menguarnya tanah yang digrujuk air hujan.

Dingin menusuk. Sebab itulah mbak-mbak santri mengeriuk. Di pelataran kamar dipenuhi santri meringkuk kedinginan. Sebagian memilih menghangatkan tubuh dengan bermain bola bekel, ada juga yang memilih turun menyerbu kantin menikmati gorengan bakwan yang digigit bersamaan dengan cabai hijau. Ada pula yang memilih duduk-duduk sambil lalaran nadzom ‘imrithi bertarung dengan bunyi hujan menghantam genting.

Story telling

Bakti Untuk Negeri

Hongkong- (Minggu, 18.08.19) – Sesungguhnya kesempatan menjadi anggota Paskibraka adalah hal yang mulia.
Menjadi bagian dalam ‘Pasukan Pengibaran Bendera Pusaka’ adalah percapaian yang luar biasa. Terlebih ini bukan Indonesia. Bersyukur dengan kesempatan langka.

Disini, meskipun tidak seribet seleksi di Indonesia sana, tetap harus melewati seleksi latihan, memeras peluh setiap minggunya. Dengan suhu kisaran 39°C, belum juga ditambah panasnya demonstrans di Hongkong yang menjadi momok untuk melangkah keluar menuju tempat latihan.

HUT RI ke-74

Story telling

Selayang Rindu

Hongkong (20.06.2019) – Selesei sarapan ku tumpuk piring begitu saja di pojokan, dekat kran besi bewarna perak. Segera kuraih gawai di kasur Micky mouse, membuka applikasi bersimbol hijau muda dengan icon telepon.

05.58 Ada pesan dari ibu melayangkan bawa Mbah putri tengah sakit, setelah kemaren sore ba’da suntik, beliau tidak bisa beranjak bangun.
Seperti biasa ritual paginya diawali menuju kamar mandi membersihkan diri dilanjut mendirikan salat.
Pagi ini, ibu yang berbakti dengan membantu membasuh badan juga menyuapi sarapan.

Aku terdiam setelah membaca habis berita keluarga. Iya, aku tengah merantau dan ibu lah yang selalu istiqomah memberi kabar saat aku jauh dari rumah. Beliau juga yang memiliki tugas extra dalam rumah. Saat Simbah entah Bapak yang kurang sehat.
Meskipun, pernah suatu ketika mereka bertiga merasakan sakit bersamaan. Tapi, tetaplah ibu yang menjadi sosok paling kuat, untuk berbakti setulus hati, berpura untuk tetap gak papa pada raga yang sedang tidak baik-baik saja.

“Udah maem?” Untukmu para ibu, mulia sekali hatimu.

Teruntuk dua wanita hebatku, sehat selalu ya.

Cerpen

Cinta Di Semangkuk Mie Ayam

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

Ana Uhibbuki,” terukir jelas tulisan tangan yang indah itu, menggurat penuh makna, terselip dalam tebalnya Kitab Imrtithi, sebuah nadzhom tentang kaidah gramatikal Bahasa Arab.
Datar. Entah apa yang ada di pikiranku, kata-kata indah bagi sebagian orang yang dimabuk asmara adalah kata-kata candu, aku tak bisa merasakannya. Biasa saja. Seolah tidak ada artinya, hanya secarik kertas yang tak bernilai. Mungkin lebih manfaat jika kertas itu dijadikan bungkus gorengan.
Aku melipatnya, menaruh kitab itu di lemariku.

Azan isya’ terdengar nyaring, mengundang pemeluk agamanya untuk bergegas memenuhi surau, salat isya berjamaah. Seperti biasa, sebelum berangkat, aku sudah berwudu di rumah. Bagiku berwudu di rumah adalah sebuah keharusan. Bukan saja karena di surau tidak ada tempat wudu wanita, tapi enak saja jika berangkat ke surau sudah dalam keadaan siap, termasuk wudlu.
Malam itu aku bergegas melangkahkan kaki ini menuju surau, satu dua kulihat anak kecil berlarian, bermain di halaman surau, tertawa. Teringat masa kecilku dulu, tak akan berhenti bermain sebelum ustazah memarahiku, menyuruhku bergegas siap-siap sholat jama’ah. Seperti wasiat Embah Sanusi: rajin mengaji agar menjadi orang pintar, rajin berjamaah agar menjadi orang (berperilaku) benar.

Begitulah kehidupanku sejak kecil, aku terdidik di lingkungan pesantren. Ayahku yang pertama kali membawaku ke pesantren. Suasana baru, lingkungan baru, dan tentu saja menjauhkanku dari teman-teman bermainku di kampung. Menyebalkan.

***

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

Setelah seribu purnama terlewati, kehidupanku kini telah berbeda, tidak lagi di pesantren. Sudah sejak lama aku lulus dari pesantren, mengabdi di masyarakat. Nasi telah menjadi bubur, sesal tak dapat diulang. Begitulah yang aku rasakan kini. Tak pernah serius dalam belajar di pesantren. Menjadi abdi masyarakat tak semudah yang kubayangkan dulu, memimpin pengajian, rutinan majelis ibu-ibu, sebatas itu. Tak pernah terbayang sedikitpun bahwa kelak akulah yang menjadi cerminan Islam, simbol dari agama. Masyarakat menilai alumni pesantren adalah suri teladan baik sikapnya, tutur katanya, dan yang pasti adalah fatwanya, berat. Teramat berat kujalani.

Untunglah Nyaiku dipesantren adalah seorang Ibu yang tak hanya menjadi ibu spiritualku, ia juga menjadi seorang ibu yang benar-benar peduli pada santrinya meski sudah lama meninggalkan dunia pesantren. Nasihat demi nasihat selalu kudapatkan darinya, membimbingku dalam menapaki dunia baru. Katanya, tak mengapa nasi sudah menjadi bubur, tinggal ditambahkan kecap dan bumbu penyedap, maka jadilah makanan lezat yang siap dinikmati.

***

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

Sore hari semilir angin meniup lembut, mengibarkan ujung kerudungku, mendawaikan alunan musik klasik yang kudengar dari ponselku, syahdu. Hari yang indah ditemani secangkir kopi kesukaanku, teman yang sangat pas sambil membuka-buka kembali kitab imrithi-ku, menjaga hafalanku.

Ana Uhibbuki.” Tulisan Bahasa Arab itu kubaca kembali, tak sengaja lebih tepatnya. Mengapa pula dulu aku masih menyimpannya? Ah bukankah dulu aku tak pernah peduli, bahkan lebih baik menjadi bungkus gorengan? Mengapa pula kini masih kutemukan huruf-huruf yang terukir dari jemari tangan Kang Zay? Ingatanku kembali mengawang, membayangkan kejadian beberapa tahun silam lamanya, secarik kertas tertulis pegon dari pengurus komplek di pondok putra.

Dia yang selalu siap membeli mie di pertigaan komplek, ketika hasratku bergejolak untuk mencecap ayam kecap racikan Bi Enah.

Dia juga yang memberiku kitab saku imrithi, karena ia tahu aku menyukai ilmu nahwu.

Oh Tuhan, mata teduhnya, wibawanya, kesopanannya. Ah tidak. Tidak mungkin aku jatuh hati. Bukankah dulu aku mengabaikannya? Tidak penting bagiku. Tapi, Ya Tuhan aku tak berhenti melamunkannya.
Gambaran lelaki itu jelas terlintas dalam lamunanku, mengabaikan niat mengulang hafalan imrithi-ku. Senyap, hanya semilir angin yang masih mengelus sepoy membuai lembut diriku.

Sudah satu jam yang lalu musik di ponselku berhenti, habis daftar putar lagunya.

“Assalaamu’alaikum ….”

“Wa’alaikum Salaam warohmatullah … Santi?” segera kututup surat itu, menyimpannya rapih di dalam kitab imrithi-ku.

“Ya Allah, kamu masih mengingatku ternyata.”

“Masih lah, kamu kan yang dulu jadi santri tukang tidur kalo lagi ngaji, sampai-sampai Bu Nyai yang membangunkanmu.”

“Dasar, kamu mengingatnya yang jelek-jeleknya saja. Padahal aku kan salah satu santri yang berprestasi, selalu juara musabaqoh akhirus sanah.”

“Iya, juara lomba makan kerupuk. Ada apa, San? Kok tumben ke rumahku,” tanyaku tanpa basa-basi.

“Ini, kubawakan surat dari seseorang. Aku lupa mau mengabarimu lewat SMS, lagi pula nggak ada pulsa sih.”

“Ah alasan saja, bilang saja kalo emang gak ada pulsa.”

“Maksudnya itu,” tertawa.

“Omong-omong, surat dari siapa tuh?”

“Kamu baca aja sendiri, nanti juga kamu bakal tahu.” Jawabnya singkat.

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Baca aja.”

Kuambil surat dari tangannya, kulihat Santi cengar-cengir seperti meledek. Menambah kecurigaanku. Ada apa? Jangan-jangan Santi mau mengerjaiku lagi?
“Yasudah nanti aku baca kalo udah di kamar ya. Ayo sini mampir dulu, pasti sambil nyari makan kan?” Aku meledeknya.

“Eh nggak ah, aku mau ke rumah tanteku, sudah ditunggu. Yaudah aku duluan ya. Assalaamu’alaikum.”

“Wa ‘alaikum salaam warohmatullah, makasih, San.”

***

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

Aku pamit ya? Jangan nakal dan tunggu aku kembali! Aku akan bekerja di Ibu Kota, do’akan semua lancar, simpan nomer ini jika kamu membutuhkan.”

Dadaku berdesir. Denyut jantungku berdebar kencang. Malam ini sungguh menjadi malam yang berat bagiku, membuatku tak bisa terlelap tidur. Kucoba mengalihkan konsentrasiku, pikiranku masih saja mengingatnya. Oh Tuhan, apakah ini karma? Rasa-rasanya aku telah bertekuk lutut atas nama cinta.

***

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

“Assalamualikum,” Kata pembukaku dalam surat yang kutulis penuh keringat dingin, gerogi.
Aku adalah seorang penulis, buku-buku karyaku sudah banyak terbit. Tapi entah kenapa, malam ini sepertinya pena sedang tidak bersahabat denganku. Semua kata-kataku menjadi buntu. Bingung apa yang harus aku tulis. Bahkan untuk mengawali isi suratku saja, aku menghabiskan dua jam menulisnya, patah-patah. Sudah puluhan kertas yang berserakan di lantai, hasil robekanku yang tak sempat tertulis dengan baik di lembar suratku. Aku payah.

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati, rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi, tak jemu untuk diulang berkali-kali.

Semenjak kamu yang memilih tetap bertahan pada jarak, membuatku mencari tahu siapa sebenarnya kamu. Dari nama sebenarnya sudah bisa terbaca bahwa asal keluargamu bangsawan, pun pendidikan tak diragukan lagi. Aku? Hanya kasta waisya.

Zaenal Rojo Akbar, itulah namanya. Pemuda yang berhasil mengganggu malam-malamku, mengusik tidur lelapku, tak pernah hilang dari lamunanku. Dia yang pertama kalinya mengenalkanku apa yang pernah dirasa Laila pada Qeis, aku gila. Benar-benar gila.
Kuputuskan membiarkan penaku tergeletak, suratku tak pernah usai. Kubiarkan ia terkulai, usang menyimpan selaksa cinta.

Kuambil ponselku, kuberanikan diri menghubunginya. Gagal. Kutaruh kembali dimeja kamarku. Kusentuh kembai, lalu kutaruh kebali. Seperti ada sesuatu yang membuatku terasa berat mengetik SMS untuknya. Tak berani. Demi Tuhan, ini tak pernah terjadi padaku sebelumnya, gila. Benar-benar gila karenanya. Tapi entah mengapa aku justru menikmati kegilaan ini.

“Aku Nilan. Apa kabar?” Empat jam sudah kulalui hanya untuk sekedar menuliskan pesan singkat ini. Hatiku berdebar tidak karuan. Memikirkan kira-kira balasan apa yang akan dia tulis untukku. Semoga saja. Jantungku benar-benar berdegup kencang. Sesekali aku minum air, berusaha menenangkan diriku. Tak berhasil.
Apalagi yang kupikirkan? Oh Tuhan Nilan, jangan berharap lebih. Siapa kamu? Apa kelebihanmu? Dia pintar, tampan, orang kaya, sedang kamu? Ah, lupakan saja, Nilan. Ekspektasimu terlalu tinggi, sakit kalau nanti jatuh. Aku mencoba menyadarkan diri.

***

Atas nama rasa yang tengah tertambat di relung hati. Rasa merah muda di dua anak manusia. Seperti bait puisi tak jemu untuk diulang berkali kali.

“Nilan, aku ingin menikahimu.” Aku kaget membaca pesan masuk.
Benarkah apa yang kubaca? Betulkah ini tulisannya? Lamat-lamat kubaca lagi nama pengirim pesan di ponselku, Zaenal. Benar ini pesan darinya. Tapi tak mungkin, mengapa ia mengirimkan pesan ini padaku?
Jangan-jangan ia salah kirim? Tapi pesan itu jelas tertulis namaku? Dasar lelaki misterius. Hatiku tambah tidak karuan. Jangan-jangan ponselnya dibajak? Aku berusaha menepis kemungkinan itu.
Lihatlah, aku menjatuhkan air mata. Apa yang sedang kurasakan? Haru? Takut? Entahlah. Hatiku tak mampu menjelaskan.
Aku lempar hape diatas kasur bergambar hello kitty.

***

Dua hari berlalu, gawaiku berdering, “Nilan, Ibu menjodohkanku. Maafkan aku, Nilan. Tak ada maksudku mempermainkanmu.” Remuk hatiku. Hancur berkeping-keping. Lelaki macam apa sebetulnya dia, begitu tega mencabik-cabik perasaanku. Untuk apa dia hadir membawa cinta jika nyatanya akan meninggalkanku saat diriku benar-benar tak kuasa menahan cinta? Biadab sekali perbuatannya.
Wajahku memerah, air mata mengucur membasahi kerah bajuku sejak tadi. Ingin sekali ku banting ponselku. Betapa kejinya ia mempermainkan cinta, memperbudakku atas nama cinta, lalu meninggalkanku dalam ketidak-berdayaan. Amarahku membukit-bukit.

“Nilan, aku akan berusaha berbicara dengan ibu, maaf kita harus berjeda dulu. Aku tak ingin membuatmu lebih terluka.”

Apa katanya? Berbicara dengan ibu? Bicara apa lagi? Mau bahasa apa lagi untuk memperdaya hatiku? Masih kurang puaskah aku menderita? Mati karena cinta. Tak ingin membuatku lebih terluka,omong kosong! Kamu pengkhiyanat!
Aku menangis tersedu-sedan, ingin sekali rasanya mati.

***

Semenjak obrolan WA tujuh bulan lalu sudah mulai kubatasi diri bermain Sosial media, ponselku hanya disibukkan dengan alarm, musik dan sesekali SMS operator mengingatkan sudah waktunya mengisi pulsa. Kadang kala, aku meronta kenapa seolah takdir selalu bercanda, kala ada yang ingin membersamaiku namun tidak dengan restu ibu. Akupun berpikir, mengapa pula aku harus percaya padanya, menaruh harapan tinggi, menyimpan cinta. Ah bodohnya aku.
Wanita mana yang hatinya tak hancur, aku tahu luka ini akan sangat sulit disembuhkan. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengeringkan sayatan. Namun setidaknya dengan caraku melepaskan paling tidak sudah menyelamatkan seorang anak lelaki agar tidak kehilangan Syurga.
Aku tidak akan meronta terlalu lama, harusnya aku bisa akrab dengan kepedihan, karena aku Nilan. Nama yang diberikan orang tuaku yang bisa jadi terinspirasi dari bahasa Jawa; Nelangsa. Karena saat melahirkanku, bapak tidak bisa menemani karena harus bekerja di daerah Sungai Mahakam. Mencoba memberi asupan gizi pada pikiran, berdoa dikuatkan rohani.

Tubuhku terdampar setelah seharian melakukan seambrek rutinitas. Ponselku bergetar ada pesan masuk dari Zay,

“Aku kangen,” []

=Selesei=

Quotes

Ied Fitri di Negeri non Muslim

Feviwordp- Meminta maaf yakni sebuah proses mengalahkan ego, pun memaafkan adalah proses kebahagiaan masuk pada hati kita. Perihal dimaafkan adalah urusan hati masing-masing, terlepas dari kamu berdamai atau tidak denganya, tapi, setidaknya, kamu sudah berdamai dengan hati dan egomu. Sudah saatnya eratkan hubungan, dan berdamai dengan kenyataan. Kemenangan sesungguhnya adalah milik mereka yang tetap menyadari bahwa setiap orang pernah salah, tak ada alasan untuk tidak saling memaafkan.

Quotes

Cahaya Di Negeri Bethon

Feviwordp- Terimakasih atas semua kisah pembelajaran. Banyak hal yang baru aku dapatkan denganmu. Ada banyak hal yang mungkin tidak akan pernah aku dapatkan jika tetap duduk menjadi anak rumahan. Meski pada awalnya sempat ada perang perbathinan. Toh sebenarnya hanya perlu sadar akan peran yang Tuhan memang sudah gariskan.

Mempelajari arus kehidupan adalah cara mensyukuri nafas.

Uncategorized

Ramadan Hasanah, Jodoh Tuma’ninah

Feviwordp- Kajian bersama Ustadz Wijayanto, Minggu (26/05/19) berlangsung khidmat.

Ketika acara sampai pada sesi tanya jawab, ada salah satu dari jama’ah bertanya amalan jodoh, lalu beliau mengijazahi: Perbanyak membaca doa Robbii laa tadzarni fardan, wa anta khoirul waritsiin. (QS.Al Anbiya.89), Rabbi innii limaaaaa anzalta ilayya min khoyrin faqiirun. (QS. Al Qosos.24).

Untuk yang tengah berada di fase penantian, pergunakan waktu untuk mengembangkan diri, menebar kasih sebelum bersama kekasih. Semoga segera dipertemukan dengan orang dan waktu yang tepat. Masih bulan Ramadan, berbanyak doa ya!